Perlukah Undang-Undang Perlindungan Guru?
5 jam lalu
Pendidikan bukan sekadar soal pengetahuan, melainkan proses membangun manusia yang berkarakter
***
Kasus di SMA Negeri 1 Cimarga, Lebak, Banten, menjadi sorotan nasional setelah Kepala Sekolah menampar seorang siswa yang ketahuan merokok di area sekolah. Tindakan pendisiplinan tersebut kemudian dilaporkan orang tua siswa ke polisi sebagai dugaan kekerasan.
Kasus ini menjadi terkenal karena orang tua dari ILP (Siswa yang merokok) melakukan pelaporan ke Polres Lebak (10/10/2025) hingga berujung pada pencopotan Kepala Sekolah SMA N 1 Cimarga Ibu Dini Fitri oleh Pemprov Banten.
Akar Masalah Ratusan Siswa SMAN 1 Cimarga Mogok Sekolah
Fenomena ini tentu menjadi persoalan dalam dunia pendidikan di Indonesia, karena guru selain memiliki kewajiban untuk memberikan pengajaran juga wajib memberi pendidikan. Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disampaikan bahwa “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”
Ketentuan ini bermakna bahwa guru tidak hanya “pengajar” (transfer of knowledge) tetapi juga “pendidik” (transfer of values dan pembentukan karakter). Artinya, aspek pembinaan kepribadian, moral, dan kedisiplinan juga bagian integral dari profesi guru. Guru tidak hanya mengajarkan apa yang harus dipelajari, tetapi juga bagaimana seharusnya hidup dengan benar. Dalam perspektif Ki Hadjar Dewantara dijelaskan “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.” Artinya, guru di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, dan di belakang memberi dorongan.
Secara hukum, perlindungan guru atau dalam hal ini tenaga pendidikan dalam menjalankan profesi sebenarnya telah diatur dalam Pasal 39 UU Guru dan Dosen. Dalam ayat (2) disebutkan “perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.” Adanya ruang hukum ini secara tegas menjamin perlindungan terhadap tindakan profesional yang dilakukan seorang guru dalam fungsi pendidikan dan pembentukan karakter. Tanpa ruang hukum yang memadai, guru akan kehilangan keberanian untuk membentuk karakter peserta didik. Akibatnya, sekolah hanya menjadi tempat pengajaran (schooling), bukan pendidikan (education).
Sebagai lingkungan yang berfungsi membentuk kepribadian dan karakter peserta didik, sekolah memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk menolak segala bentuk kekerasan. Pendidikan tidak dapat tumbuh dalam atmosfer ketakutan atau intimidasi. Fungsi pendidikan bukan sekadar mentransfer pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, penghormatan terhadap martabat manusia.
Maka dari itu sebagai turunan dari UU Guru dan Dosen serta UU Sistem Pendidikan Nasional lahirlah Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Peraturan ini tidak hanya mempertegas posisi sekolah sebagai ruang aman bagi tumbuh kembang anak, tetapi juga memperjelas tanggung jawab seluruh komponen seperti tenaga pendidik hingga peserta didik.
Dalam kasus sebelumnya seorang kepala sekolah menampar muridnya yang diduga merokok di lingkungan sekolah. Terlepas dari terbukti benar tidaknya tindakan tersebut, tindakan tersebut dapat dilihat dari dua sudut pandang, yakni secara normatifnya dan etika proporsionalitas. Karena masing-masing sudut pandang memiliki pembenarannya tersendiri. Sedangkan perspektif etika proporsionalitas berangkat dari pemahaman bahwa guru dan kepala sekolah juga memikul tanggung jawab moral dalam menjaga ketertiban dan membentuk karakter siswa
Dalam hukum pidana dan juga etika profesi guru, niat (intention) dan tujuan pendidikan menjadi pembeda penting. Sehingga apabila guru menampar dengan maksud: (1) dengan maksud mendidik atau mendisiplinkan, bukan melukai atau mempermalukan; (2) dilakukan secara spontan karena pelanggaran berat (misalnya merokok di area sekolah); dan (3) tanpa menimbulkan luka fisik serius atau trauma.
Maka dari sisi etik dan proporsionalitas tindakan, perbuatan tersebut tidak dapat langsung disamakan dengan kekerasan dalam konteks kekerasan yang bersifat kejahatan atau pelanggaran HAM. Namun, dalam kerangka hukum administratif (Permendikbudristek), tindakan tersebut tetap masuk kategori kekerasan fisik dan bisa dikenai proses penanganan — meskipun bisa dinilai dengan pertimbangan pembinaan, bukan sanksi berat.
Sehingga secara etik dan proporsionalitas, menurut penulis, tindakan guru dapat dikategorikan sah apabila memenuhi tiga kriteria berikut:
- Tujuan edukatif untuk pembinaan perilaku, bukan pembalasan atau penghinaan.
- Proporsionalitas, tidak menimbulkan luka fisik atau trauma psikis.
- Konteks keprofesian. Bila dilakukan dalam kapasitas guru sebagai pendidik di lingkungan sekolah.
<--more-->
Dari sisi normatif, tindakan kepala sekolah yang menampar murid, terlepas dari maksudnya untuk mendisiplinkan, tetap harus dinilai dalam bingkai hukum positif yang berlaku. Dalam konteks hukum pendidikan di Indonesia, setiap bentuk kekerasan di lingkungan satuan pendidikan telah secara tegas dilarang dan dikualifikasikan sebagai pelanggaran hukum administratif bahkan pidana.
P2G: Kekerasan Guru Pada Murid yang Merokok Tidak Dibenarkan Hukum
Pertanyaan yang muncul setelah melihat kasus guru atau kepala sekolah dilaporkan ke polisi karena tindakan pendisiplinan adalah: apakah peristiwa seperti ini akan membuat para guru enggan menegur siswa-siswinya? Kekhawatiran tersebut sangat beralasan. Karena jika setiap bentuk teguran atau tindakan pendisiplinan berpotensi disalahartikan sebagai kekerasan, maka akan muncul efek psikologis guru menjadi takut bertindak, memilih diam, dan membiarkan pelanggaran terjadi demi menghindari urusan yang lebih rumit.
Dampaknya bisa jauh lebih serius, siswa-siswi justru berpotensi merasa kebal terhadap kesalahan atau semacam imunitas jika dalam pidana. Ketika tidak ada konsekuensi yang jelas terhadap pelanggaran disiplin, rasa hormat terhadap guru dan otoritas pendidikan bisa menurun. Dalam jangka panjang, sekolah kehilangan wibawanya sebagai institusi pembentuk moral. Fenomena ini dikenal sebagai moral disengagement, yaitu kondisi di mana individu merasa tindakannya tidak lagi memiliki dimensi moral karena tidak ada batas atau koreksi dari lingkungan.
Lalu apakah saat ini kita benar-benar perlu UU Perlindungan Guru?
<--more-->
Gibran Usulkan UU Perlindungan Guru karena UU Perlindungan Anak Rawan Disalahgunakan
Usulan tentang UU Perlindungan Guru disampaikan salah satunya oleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dalam rapat koordinasi evaluasi pendidikan dasar dan menengah di kawasan Gandaria, Jakarta Selatan, pada Senin, 11 Oktober 2024. Ide ini tentu mencuat kembali setelah peristiwa pemecatan Kepsek SMAN 1 Cimarga ini terjadi. Sehingga apakah perlu UU Perlindungan Guru ini atau cukup dengan ketentuan yang ada sekarang.
Melihat permasalahan tersebut, sebenarnya yang menjadi isu adalah Kekerasan dan Penegakan Disiplin. Berdasarkan yang dijelaskan sebelumnya bahwa terdapat dua kacamata yang berbeda, ada yang membenarkan tindakan ini dan ada pula yang benar-benar menolak karena jelas secara normatif. Menurut penulis, untuk saat ini urgensi hadirnya UU Perlindungan Guru masih bisa diakomodir oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti yang disebutkan sebelumnya. Sebagai jalan tengah diperlukan pendekatan yang lebih bijaksana dan efektif, yakni melalui disiplin positif — suatu pendekatan pendidikan yang menanamkan tanggung jawab tanpa kekerasan, menumbuhkan kesadaran perilaku, dan mempertimbangkan karakter serta kondisi psikologis anak yang berbeda-beda. Dalam pendekatan ini, guru tidak menghukum, tetapi membimbing, tidak menakut-nakuti, tetapi menanamkan nilai-nilai.
Sebagai contoh, guru dapat menggunakan teknik restorative approach (pendekatan pemulihan), yaitu mengajak siswa yang melanggar untuk memahami dampak perbuatannya terhadap orang lain, sekolah, dan dirinya sendiri. Dengan begitu, proses pendisiplinan menjadi reflektif, bukan represif. Di sisi lain, sekolah juga perlu menyediakan support system bagi guru berupa pelatihan manajemen kelas, mediasi, dan perlindungan hukum proporsional agar guru tidak merasa sendirian menghadapi dilema antara mendidik dan melindungi diri.
Pada akhirnya, persoalan ini menuntut keseimbangan antara perlindungan terhadap peserta didik dan penghormatan terhadap otoritas pendidik. Tanpa keseimbangan tersebut, pendidikan akan kehilangan ruhnya, guru kehilangan wibawa, murid kehilangan arah, dan sekolah kehilangan maknanya sebagai tempat pembentukan manusia seutuhnya.

Penulis Indonesiana | Associate Leo and Partners Law Firm
2 Pengikut

Perlukah Undang-Undang Perlindungan Guru?
5 jam laluBaca Juga
Artikel Terpopuler